SETETES EMBUN CINTA NIYALA

Kedatangan surat dari ayahnya membuat ia seperti ada bekatu menghunjam ke dalam ulu hatinya.
Sakit dan perih. Ia memejamkan mata.
Tulang-tulangnya terasa ngilu bagaikan diremuk-remuk dengan palu godam. Dan langit-langit seakan-akan runtuh meninmpa dirinya. Ia merasa menjadi perempuan paling menderita di dunia. Bisakah ia menolah surat itu? Mampukan ia melihat ayahnya hidup tanpa kemerdekaan?
Tidak. Tidak mungkin aku berlaku durhaka. Jeritnya dalam hati..
Namun memenuhi isi surat itu dan menerima menjadi isteri Roger tak ada bedanya dengan melacurkan diri. Menggadaikan jiwa raga untuk menebus materi delapan puluh juta demi kemerdekaan ayah.
â€Å\”Oh, celakalah diriku, aku akan melacurkan diri dengan kedok pernikahan!” ia meratap sedih.
Rasanya ia mau membenci ayahnya.


â€Å\”Ini semua gara-gara ayah!” serapahnya.
Namun buru-buru nuraninya mengingatkan bahwa ayahnya lebih menderita dari dirinya. Ayahnya rela menggadaikan kemerdekaannya demi ketulusan cinta pada alhmarhumah ibunya.
Ia masih ingat, waktu kecil dulu, saat masih duduk di kelas 4 SD, bagaimana Roger yang saat itu sudah kelas enam nyaris menggagahinya di kebun sekolah. Ia harus kehilangan kesuciannya. Untuk ada penjaga sekolah yang menolong dan menyelamatkannya. Dan kejahatan Roger itu tidak pernah ia lupakan.
Ia masih bingung mencari dalang penyebab nestapa yang siap menerkamnya. Pikirannya beku. Bibirnya kelu. Ubun-ubunnya bagaikan ditancap paku.
Ia terus tergugu sendirian di kamar, perang batinnya terus berkecamuk sampai adzan subuh terdengar mendayu-dayu.
Tiba-tiba ia merasa putus asa untuk melanjutkan hidup. Ah, andai ia punya delapan puluh juta tentu semuanya akan mudah baginya.
Niyala termenung dikamarnya. Sejak kedatangan surat itu ia jarang keluar kamar.
Umi adalah teman ibu kandungnya saat belajar Diniyah. Ibunya mendapatkan jodoh orang Sidempuan yaitu ayahnya. Sedangkan Umi mendapatkan orang suami orang Betawi. Keduanya lantas hidup ikut suaminya masing-masing. Saat ibu kandungnya sakit keras, diam-diam ibunya nulis surat wasiat kepada Umi agar jika dirinya meninggal Umi mau mengasuh puterinya Niyala dan menganggapnya seperti anaknya sendiri.
Sejak ia datang ke rumah itu, Umi hidup hanya berdua dengan anak lelakinya Faiq yang baru kelas enam SD. Suami Umi meninggal saat tugas di Timor-timur. Umi bekerja keras dengan kedua tanggannya membesarkan Faiq dan dirinya.
Ia masih ingat saat dirinya diterima di Fakultas Kedokteran. Umi harus terpaksa meminjam uang ke Bank dimana sertifikat tanah yaang menjadi satu-satunya harta yang tersisa dijadikan jaminan.
Tiga hari lagi wisuda. Dua hari lagi ayahnya datang. Ia menghitung sisa hari seperti seorang tahanan yang telah di vonis hukuman mati menghitung sisa-sisa hidupnya.
â€Å\”Niyala Anakku, mau ikut Umi tidak?”
Suara lembut perempuan setengah baya yang amat dicintainya itu kembali menyadarkan dirinya dari kekosongan jiwa.
â€Å\”Kemana Umi?”
â€Å\”Ke Bandara.”
â€Å\”Ada apa?”
â€Å\”Kakakmu Faiq pulang.”
â€Å\”Kak Faiq pulang?!” ia kaget.
â€Å\”He eh. Kaget ya?”
â€Å\”Kok mendadak mi?”
â€Å\”Umi yang meminta ia pulang seminggu yang lalu.”
â€Å\”Ooo..h.”
Kepulangan Faiq membuat Umi sangat berbahagia. Anak lelakinya itu benar-benar gagah dan tampan seperti almarhum ayahnya. Senyumnya memikat. Nada bicaranya sangat enak. Bacaan Al Qur’annya saat mengimami shalat maghirb sangat indah dan enak didengar.
Seusai shalat maghrib, mereka makan malam dengan menu kesukaan Faiq yang khusus dimasak oleh Umi. Setelah itu mereka berbincang dan bercanda hingga larut malam. Malam itu Umi dan Niyala menerima oleh-oleh cukup banyak dari Faiq. Salah satunya Faiq membelikan gaun pengantin khas Turki yang sangat indah untuk Niyala.
Saat mereka bercanda dan berbincang, tiba-tiba telpon berdering dan Faiq mengangkatnya. Ternyata itu telpon dari Herman, kakaknya Niyala. Herman memberitahukan bahwa dia dan ayahnya akan ke Jakarta saat wisudanya Niyala.
Kali ini Niyala tidur bersama Umi karena kamarnya dipakai oleh kakaknya Faiq.
Air mata Niyala terus mengalir membasahi pipinya. Ia tak bisa memejamkan mata. Ia juga tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Selain menangisi nasibnya. Ia benar-benar tidak bisa mengambil keputusan.
Suara Faiq yang merdu dan tartil menarik Niyala untuk bangkit. Ia berdiri dan mengambil air wudlu.
Keduanya shalat malam berjamaah dengan penuh penghayatan.
Usai shalat subuh mereka berbincang bersama Umi dengan perasaan kangen dan bahagia.
Setelah itu Niyala ke dapur untuk masak sarapan pagi itu. Sementara Faiq mengotak-atik laptopnya. Tak lama sarapan siap dan mereka pun sarapan. Usai sarapan Faiq dan Niyalah meluncur dengan naik taksi ke Pulo Gadung.
Selama dalam perjalanan ke Pulo Gadung Niyala tidak bisa menahan tangisnya. Sebelum sampai di Pulo Gadung ia mengajak Faiq turun. Faiq pun turun dengan perasaan bingung. Firasatnya menangkap sesuatu telah terjadi pada Niyala. Dan tangisnya bukan tangis bahagia.
Niyala menceritakan perihal surat dari ayahnya secara terperinci. Juga tentang Roger dan Haji Comas ayah Roger. Siap mereka dan apa yang telah mereka perbuat. Dengan syarat tidak menceritakan masalah ini kepada Umi.
Niyala meminta Faiq unuk merekayasa bahwa Niyala sudah punya pilihan pasangan sendiri. Namun Faiq tak mau karen bohongnya itu pasti akan berkembang biak. Namun Niyala memohon agar Faiq dapat membantunya. Fiaq dapat membantu namun dengan dua syarat yakni mencucikan pakaian Faiq selama satu bulan dan memijit kakaknya.
â€Å\”Apa kakak lupa kita ini bukan mahrom?”
â€Å\”Kakak tidak lupa. Nanti pakai jaket, terus mijitnya nanti malam di ruang tamu di hadapan Umi, Ka Herman, dan ayahmu Pak Rusli.”
Mereka pun melanjutkan perjalanan untuk menjemput Pak Rusli di terminal.
Kedatangan Pak Rusli Hasibuan dan Herman disambut hangat oleh Umi. Mereka saling bertukar cerita.
Dan malam itu. Di ruang meja makan tampak lima orang duduk mengitari meja yang bundar. Mereka semua telah selesai makan. Semuanya tampak tenang keculai Niyala. Sebentar lagi ayahnya pasti akan membicarakan masalah yang ditakutinya.
Umi pun mengawali pembicaraan itu dan kemudian disambut oleh Pak Rusli mengemukakan perihal Niyala ketika nanti sudah di wisuda agar kembali ke desanya untuk mengabdi dan perihal ada seseorang yang ingin meminangnya.
Mendengar penuturan Pak Rusli, Umi bersedih karena ia akan merasa kehilangan Niyala yang ia sudah anggap seperti anaknya. Namun Uminya menyerahkan masalah itu kepada Niyala karena dialah yang berhak memilih.
Niyala diam seribu bahasa. Kepalanya menunduk. Ia berharap Faiq akan angkat bicara menggantikan dirinya dan membereskan semuanya. Faiq tak juga angkat bicara. Perasaan Niyala tak karuan kacaunya. Keringat dinginnya keluar.
Faiq pun angkat bicara dan memohon izin kepada semua karena ia ingin bicara. Umi dan Pak Rusli pun mempersilakan karena itu adalah musyawaroh.
Akhirnya Faiq mengutarakan apa yang Niyala utarakan kepadanya namun dengan sedikit berbohong. Niyala telah mencintai seseorang. Dan ia berkali-kali berterus terang pada saya baik secara langsung atau pun lewat surat dan Niyala sangat susah hidup jika tidak bersamanya. Dan orang yang dicintainya pun mungkin sama jika tidak memperistri Niyala. Cinta keduanya sudah terjalin sejak Niyala masuk SMP.
Semua kaget dengan penuturan Faiq. Umi kuatir Pak Rusli kecewa dengan dirinya. Bagaimana mungkin membiarkan anak SMP menjalin cinta.
Umi kecewa ketiaka bertnay pada Niyala bahwa itu benar. Umi kecewa karena masalah sepenting itu diluar sepengetahuannya. Dan Umi pun bertanya siapa lelaki yang dicintai Niyala.
Niyala bingung. Ia tak tahu harus mengatakan apa. Permasalahannya jadi begitu rumit. Ia tidak punya jawaban. Mukanya pucat.
Faiq pun angkat bicara.
â€Å\”Begini Umi, Niyala sangat pemalu untuk masalah seperti ini. Kalau boleh biar Ananda yang menjelaskan, namun sebelumnya Ananda minta Umi tidak marah bilang mendengar namanya.”
â€Å\”Baikah Umi berjanji tidak akan marah.”
Ketika Faiq menyebut laki-laki yang dicintai Niyala adalah Faiq semua yang ada di meja itu kaget. Semua mata tertuju pada Faiq, termasuk Niyala. Niyala tak habis pikir, kakaknya nekad bersandiwara seperti itu.
Faiq dan Niyala ditanya kembali oleh Umi apakah pernyataan tadi adalah benar dan mereka menjawab seolah-olah mereka pasangan yang memang sudah terikat lama.
Pak Rusli pun kaget dan bingung dengan kenyataan itu. Namun Faiq dan Niyala lebih menguatkan bahwa mereka pasangan kekasih bukan pasangan kakak adik.
Faiq memohon Pak Rusli dan Umi berkenan untuk merestui hubungan mereka dan segera untuk melaksanakan aqad nikah.
Herman pun angkat bicara. Dengan keadaan seperti itu, merestui dan meridhoi adalah jalan terbaik.
Meskipun Umi sangat terkejut adanya kenyataan ini, namun Umi tetap merasa bahagia karena mereka akan tetap hidup dalam satu atap dalam ikatan suci yakni pernikahan. Dan malam itu juga musyawaroh lagi mengenai pelaksanaan pernikahan.
â€Å\”Apa kalian sudah punya rencana?” kata Umi dengan memandang Faiq dan Niyala.
â€Å\”Alhamdulillah Umi, kami sudah membuat rencana yang matang sekali. Kami akan melaksanakan akad nikah secepat mungkin.” Jawab Faiq tenang. Hati Niyala tiba-tiba berdesir mendengar aqad nikah secepatnya.
â€Å\”Kapan rencana kalian akan aqad nikah?” tanya Umi.
â€Å\”Sebelum Ananda menjawabnya, dik Niyala, sudah mantap lahir batin?” kata Faiq sambil menyentuh pundak Niyala. Hati Niyala bergetar hebat mendengar pertanyaan itu. Nadanya begitu mantap dan meyakinkan. Ia menatap Faiq dalam-dalam. Ia ingin mencari kepastian ini main-main atau sungguhan.
Mata Niyala berkaca-kaca, â€Å\”Apakah ini sungguhan atau hanya sandiwara? Ataukah mimpi?” tanyanya terisak.
Tangis Niyala meledak dengan suara terbata-bata ia bertanya lagi, â€Å\”Benarkah kita akan menikah kak?”
â€Å\”Adikku Niyala, dengarkan baik-baik ya! Kakak bersumpah demi Allah, kakak hendak menikahimu secepatnya, ini bukan sandiwara lagi. Ini serius.
Setelah mendengar kalimat-kalimat yang Faiq sampaikan itu Niyala merasakan ada hawa dingin turun dari langit. Tetesan air matanya semakin deras.
Tak ayal semuanya kaget ketika Faiq mengutarakan bahwa pelaksanaan aqad nikah malam itu juga.
Dan semua persiapan pernikahan sudah dipersiapakan dengan matang oleh Faiq sejak pagi tadi.
Acara aqad nikah yang indah itu selesai tepat pukul dua belas kurang sepuluh menit, setelah semua hadirin memberikan ucapan selamat, dua pengantin dan keluarganya kembali ke rumah. Mereka berbincang-bincang di ruang tamu dengan wajah berhias bahagia.
Dalam bincang-bincang itu Faiq bercerita perihal persiapan pernikahannya dan mahar yang ia beri untuk Niyala. Dan Faiq juga meminta maaf karena dalam musyarah tadi ada kebohongan yakni Faiq dan Niyala tidak saling mencintai sejak Niyala masuk SMP, namun baru pagi tadi perasaan kakak itu berubah.
Mereka semua terharu dengan penuturan Faiq. Namun malam semakin larut dan mereka pun merasa capek dan perlu istirahat.
Di luar kamar purnama memancar terang. Sinarnya yang keperakan menyepuh genting dan pepohonan. Aning mengalir sepoi-sepoi. Sepasang kunang-kungan menari-nari di angkasa. Diiringi tasbih alam, keduanya tampak indah memadu cinta.

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *