Periodisasi Sastra 70-an

Bentuk sastra lahir melalui pertemuan dan konsensus antarbudaya etnis atau antarbudaya etnis dengan budaya lainnya (seperti budaya agama) bahkan dengan budaya barat, dimana dalam pertemuan ini budaya etnis tetap berperan sebagai objek dalam pembentukan nilai baru. Proses perkembangan kesusastraan Indonesia ini dimulai pada tahun 1960-an dan sejak tahun 1970-an perkembangan bentuk ini makin subur dengan munculnya sajak-sajak Sutardji Calzoum Bahri yang terletak dari mantra Ibrahim Sattah, dan Hamid Jabbar dari dzikir.

A. Latar Belakang

Munculnya periode 70-an karena adanya pergeseran sikap berfikir dan bertindak dalam menghasilkan wawasan estetik dalam menghasilkan karya sastra bercorak baru baik di bidang puisi, prosa maupun drama. Pergeseran ini mulai kelihatan setelah gagalnya kudeta G 30 S/PKI. Abdul Hadi W.M. dan damai Toda menamai sastra Indonesia modern pada tahun 1970-an dengan sastra periode 70-an. Korrie Layuan Rampan cenderung menamai Sastra Indonesia sesudah angkatan ’45 dengan nama angkatan ’80. Perbedaan esensial antara kedua versi tersebut hanyalah pemberian nama saja, karena keduanya memiliki persamaan, yaitu:

1.keduanya tidak mengakui adanya angkatan ’66 yang dicetuskan oleh HB. Jassin

2.keduanya meyakini adanya pergeseran wawasan estetik sesudah angkatan 45

3. keduanya memiliki persamaan pandangan tentang tokoh-tokoh pembaruan Sastra Indonesia Modern sesudah angkatan 45

Dalam periode 70-an pengarang berusaha melakukan eksperimen untuk mencoba batas-batas beberapa kemungkinan bentuk, baik prosa, puisi, maupun drama semakin tidak jelas. Misalnya, prosa dalam bentuk cerpen, pengarang sudah berani membuat cerpen dengan panjang 1-2 kalimat saja sehingga terlihat seperti bentuk sajak. Dalam bidang drama mereka mulia menulis dan mempertunjukkan drama yang absurd atau tidak masuk akal. Sedangkan dalam bidang puisi mulai ada puisi kontemporer atau puisi selindro.

Periode 70-an telah memperlihatkan pembaharuan dalam berbagai bidang, antara lain; wawasan estetik, pandangan, sikap hidup, dan orientasi budaya. Para sastrawan tidak mengabaikan sesuatu yang bersifat tradisional bahkan berusahan untuk menjadikannya sebagai titik tolak dalam menghsilkan karya sastra modern.

Konsepsi improvisasi dalam karya sastra dipahami oleh Putu Wijaya. Ia mengatakan bahwa sebuah nobel hanyalah cerita pendek yang disambung, sehingga yang penting muncul di dalam penulisan suatu karya sastra adalah faktor ketiba-tibaan. Sebuah novel, drama, atau cerita pendek ditulis didalam dadakan-dadakan karena pada saat menulis beragai ide yang datang dimasukkan ke dalam ide pokok. Unsur tiba-tiba seperti ini yang disebut dengan uncur improvisasi.

Perkembangan sastra Indonesia periode 70-an maju pesat, karen banyak penerbitan yang muncul dan bebas menampilkan hasil karyanya dalam berbagai bentuk. Sutardji menampilkan corak baru dalam kesussastraan Indonesia di bidang puisi. Alasan tersebut menyebaban Sutardji dianggap salah satu tokoh periode 70-an dalam sastra Indonesia. Pada tahun 1979 Sutardji menerima hadiah sastra dari ASEAN.

Sutardji Calzoum Bachri dalam puisinya cenderung membebaskan kata dalam membangkitkan kembali wawasan estetik mantra, yakni wawasan estetik yang sangat menekankan pada magic kata-kata, serta melahirkannya dalam wujud improvisasi. Hal itu nyata bila diperhatikan sikap puisinya berjudul Kredo Puisi yang ditulis di Bandung tanggal 30 Maret 1973 dan dimuat di majalah Horison bulan Desember 1974. Kredo Puisi dapat dilihat di bawah ini.

KREDO PUISI

Kata-kata bukanlah alat pengantar pengertian. Dia bukanlah seperti pipa yang menyalurkan air. Kata-kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.

Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.

Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.

Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggu mereka seperti Kamus dan penjajahan-penjajahan seperti moral kita yang dibebankan masyarakat pada kata-kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.

Bila kata-kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya. Pendadakan kreatif bisa timbul, karena kata biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian tiba-tiba karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal tak terduga sebelumnya yang kreatif.

Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Karena gairahnya telah menemukan kebebasan, kata meloncat-loncat dan menari-nari diatas kertas, mabuk dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsang sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya bisa menolah dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.

Sebagai penyair saya hanya menjaga sepanjang tidak mengganggu kebebasannya agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertian sendiri, bisa mendapatkan aksentuasi yang maksimal.

Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada umumnya adalah kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis bagi saya adalah mengembalikan kata pada mantera. Untuk mengetahui sejauh mana ” pembaharuan” yang dilakukan Sutardji dapat dilihat dalam salah satu sajaknya yang berjudul “Pot” berikut ini:

POT

Pot apa itu pot kaukah pot itu

Pot pot pot

Yang jawab pot pot pot pot kaukah pot itu

Yang jawab pot pot pot pot kaukah pot itu

Pot pot pot

Pot apa pot itu pot kaukah potku?

Pada periode 70-an genre yang muncul puisi, prosa, dan drama. Genre puisi dipelopori oleh WS. Rendra, Subagyo Sastrowardoyo, Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Pradopo. Sedangkan genre prosa dipelopori oleh Linus Suryadi, Iwan Simatupang, Danarto dan Budi Darma. Genre drama dipelopori oleh Putu Wiaya, Arifin C. Noer. Perkembangan sastra periode ini diikuti munculnya penyair maupun pengarang-pengarang baru. Dalam periode ini selain ada penyair laki-laki juga muncul para penyair wanita, antara lain: Toeti Fariati, Isma Sawitri, Upita Agustin, Doro Tea Raso Helani, dan Ida Ayu Galuh Petak.

Uraian di atas telah disebutkan bahwa Rachmat Djoko Pradopo sebagai salah satu pelopor puisi. Dalam hal ini ia mempunyai ciri khusus mengenai program puisi tahun 70-an – 90-an, yaitu:


  • Ciri khusus

    bergaya mantra

  • puisi imagisme
  • puisi lugu
  • puisi lirik biasa

bergaya mantra digunakan irama kepuitisan. Kepuitisan ditandai dengan ulangan kata, frasa, ulangan kalimat (baris). Di sini juga digunakan kata-kata nonsense (kata-kata yang tidak perlu) dalam linguistik dan dlaam kontek tertentu. Misal petasp-tasa. Imagisme artinya dengan teknik pengucapan tidak langsung berupa lukisan-lukisan, gambaran angan-angan juga digunakan cerita kiasan. Rachmat Djoko Pradopo juga memilah antara struktur estetik dan ekstraestetik. Lebih lanjut akan diuraikan di awah ini:

Ciri Struktur Estetik dan Ekstra Estetik menurut Rachmat Djoko Pradopo

1. Ciri Struktur Estetik

a.Bergaya mantra

b.Dipergunakan kata daerah secara mencolok = untuk memberi warna lokal dan ekspresifisme, seperti: emak, simbok, ibu, mama umi

c.Digunakan asosiasi bunyi untuk memberikan makna baru

d.Puisi imagisme

e. Gaya penulisan yang prosais

f. Puisi lugu = menggunakan teknik pengungkapan ide secara polos atau kalimat biasa.

2.Ciri Struktur Ekstra Estetik

a.Mengungkapkan kehidupan batin, religius

b. Berbentuk cerita

c. Sajak-sajak menuntut hak-hak azasi manusia, kebebasan berbicara, hidup merdeka, bebas penindasan

d.Berisi kritik atas kesewenangan terhadap kaum lemah, penyelewengan

Ciri struktur estetik dan ekstraekstetik tersebut di atas berlaku sampai dengan tahun 90-an. Pada periode ini juga muncul adanya kritik sastra, yaitu memberikan penilaian terhadap karya sastra. Tokoh penelitian dalam kritik sastra adalah Ajib Rosidi, H. b Jassin, Jacob S, Umar Yunus, Rawamangun mengkritik hasil karya Boen. S. Oemaryati dan Hutagalung mengkritik Moetar Lubis dalam karyanya Jalan Tak Ada Ujung. Essai pada periode ini juga ikut mengiringi pertumbuhan dan perkembangan sastra periode ini. Essai yaitu membahas masalah sepintas lalu dari sudut penulisnya. Tokoh-tokoh yang menulis essai, antara lain: Budi Darma dengan judul solilokui, Satyagraha H. S, HB. Jassin.

B. Karakteristik

1.Genre yang muncul puisi, prosa, drama, kritik dan essai

2.Muncul puisi mbeling dan prosa mbeling

3.Banyak diciptakan puisi konkret sebagai puisi eksperimen

4.Digunakan kata-kata dari daerah yang mencolok untuk memberikan warna lokal dan ekspresifisme, seperti emak, simbok. Contoh: Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi.

5.Kaya dengan pikiran dan corak baru dalam perkembangan teknik mengungkapkan ide secara polos

6.Sajak-sajak yang dihasilkan masih ada nada protes menuntut hak asasi

7. Puisi imagisme banyak ditulis yang berisi kiasan, alegori ataupun parabel

8. kata-kata yang digunakan bersifat bebas dan kreatif

9.Bahasa yang digunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah

C. Para Pengarang dan Hasil Karnyanya

Pada periode ini muncul para pengarang maupun penyair baru yang mengiringi pertumbuhan dan perkembangan sastra. Adapun nama dan hasil karyanya yaitu sebagai berikut:

1. Putu Wijaya

a. Orang-orang Mandiri (drama)

b. Lautan Bernyanyi (drama)

c. Telegram (novel)

d. Aduh (drama)

e. Pabrik (novel)

f. Stasiun (novel)

g. Hah (novel)

h. Keok (novel)

i. Anu (drama)

j. MS (novel)

k. Sobat (novel)

l. Tak Cukup Sedih (novel)

m. Dadaku adalah perisaiku (kumupulan sajak)

n. Ratu (novel)

o. Edan (novel)

p. Bom (kumpulan cerpen)

2. Iwan Simatupang

a. Merahnya Merah (roman)

b. Kering (roman)

c. Ziarah (roman)

d. Kooong (roman)

3. Danarto

a. Godolb (kumpulan cerpen)

b. Obrok owok-owok, Ebrek ewek-ewek (drama)

c. Adam ma’rifat (kumpulan cerpen)

4. Budi Darma

a. Solilokui (kumpulan essai)

b. Olenka (novel)

c. Orang-orang Bloomington (kumpulan cerpen)

5. Sutardji Calzoum Bachri

a. O (kumpulan sajak)

b. Amuk ( kumpulan sajak)

c. Kapak (kumpulan sajak)

6. WS. Rendra

a. SLA (drama terjemahan)

b. Informan ( drama terjemahan)

c. Blues untuk Bonnie (kumpulan sajak)

d. Sajak-sajak Sepatu Tua (kumpulan sajak)

e. Oidipus Sang Budha (drama terjemahan)

f. Antigone (drama)

g. Potret Pembangunan dalam Puisi (kumpulan sajak)

7. Arifin C. Noer

a. Kapai-kapai (drama)

b. Kasir Kita (drama satu babak)

c. Orkes Madun (drama)

d. Selamat Pagi, Jajang (kumpulan sajak)

e. Sumur tanpa dasar (drama)

f. Tengul (drama)

8. Darmanto Jatman

a. Sajak-sajak Putih (kumpulan sajak)

b. Dalam Kejaran Waktu (novel)

c. Bangsat (kumpulan sajak)

d. Sang Darmanto (kumpulan sajak)

e. Ki Balaka Suta (kumpulan sajak)

9. Linus Suryadi

a. Langit Kelabu (kumpulan sajak)

b. Pengakuan Pariyem (novel)

c.Syair-syair dari Jogja (kumpulan sajak)

d.Perang Troya (cerita anak)

e.Dari Desa ke Kota (kumpulan essai)

f.Perkutut Manggung (kumpulan sajak)

g.Gerhana Bulan (kumpulan sajak)

10. Subagyo Sastrowardoyo

a. Kejantanan di Sumbing (kumpulan cerpen)

Leave a Reply

9 komentar pada “Periodisasi Sastra 70-an

  1. na

    assalamualaikum,
    sekali lagih,,,makasih,,, ya,,,mba,,,

    saya memang sedang mencari periode sastra 60, 70, dan 2000,,,
    di sini saya,,,nemu 2 buah periode makasih,,,

    n_n

  2. limabiuta

    permisi..
    saya kebetulan lg nyari tentang sastra angkatan 70-an untuk tugas sekolah
    ga masalah kn saya copy artikel ini?
    terima kasih banyak ya ^^

  3. rahayu

    makasih y, buat artikelnya…….
    saya mau nanya, angkatan 70-an sama angkatan 80-an sama gak??????

  4. vina

    mbak……… makcih y,,,,
    saya g butuh bgt artikel ne bat bkin tugas, jd bleh di kopy dunk????
    sksli lg mkacihhhh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *