Peran Bahasa

Bahasa dapat dipandang mempunyai potensi untuk menciptakan makna baru. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa bahasa jauh lebih rumit daripada sinyal dari lampu lalu lintas. Satu dimensi penting lain dalam bahasa adalah kita bisa menggunakan bahasa untuk berbagai tujuan yang berbeda. Seperti halnya untuk tujuan hanya sekedar basa-basi, referensi, afektif, dan atau tujuan lainnya. Masing-masing tujuan tersebut akan mempengaruhi penggunaan bahasa seseorang. Namun, fungsi referensi dan fungsi afektif memiliki peran besar. Fungsi referensi dari bahasa adalah yang terkait dengan nama apa yang digunakan untuk menyebut objek dan ide serta bagaimana cara mendeskripsikan kejadian tersebut. Sementara fungsi afektif dalam bahasa terkait dengan siapa yang “boleh/berhak” mengatakan apa dan hal ini erat sekali kaitannya dengan kekuasaan dan status sosial.

Selanjutnya, ada keanekaragaman bahasa dilihat dari siapa yang menggunakan bahasa apa, dan jenis bahasa apa yang mereka gunakan, serta bagaimana sikap orang terhadap bahasa (atau terhadap jenis masalah itu). Komponen-komponen tersebut sangat terkait dengan masyarakat dan kekuasaan.

Kekuasaan ini seringkali ditunjukkan melalui bahasa, dan bahkan kekuasaan juga diterapkan atau dilaksanakan lewat bahasa. Tentu hal ini sangat terkait pula dengan hierarki masyarakat. Selain itu, kita belajar tentang bagaimana berperilaku sopan dan bagaimana menentukan mana yang bernilai dan tidak, juga melalui bahasa.

Keterkaitan masyarakat dan kekuasaan dengan keanekaragaman bahasa dibuktikan oleh pendapat Surbakti (dalam Sadiyo, 2001)[1] disebutkan bahwa kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, yaitu (1) kekuasaan merupakan hubungan antarmanusia, (2) pemegang kekuasaan mempengaruhi pihak lain, (3) pemegang kekuasaan dapat seorang individu, kelompok, organisasi, atau pemerintah, (4) demikian pula sasaran kekuasaan, …dst. Terlihat jelas bahwa masyarakat dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan. Bentuk-bentuk kekuasaan tersebut terjadi melalui bahasa yang sesuai dengan siapa yang menggunakan bahasa apa, dan jenis bahasa apa yang mereka gunakan.

Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat Brown dan Gilman (dalam Ibrahim, 1994)[2] bahwa mereka mengembangkan model keragaman pemakaian bahasa berhubungan dengan hubungan peran kekuasaan dan keakraban. Digambarkan bahwa kekuasaan dalam bentuk garis vertikal, sedangkan keakraban dengan garis horizontal. Kedua proses tersebut bersumber dari realitas psikososial penutur-mitratutur, misalnya kesamaan atau perbedaan bentuk fisik, keturunan, harta, umur, jenis kelamin, kelompok, profesi, mayoritas-mayoritas aliran, dsb. Pada umumnya garis vertikal dapat ditemui ada pada masyarakat tradisional, sedangkan garis horizontal terjadi pada masyarakat penganut ideologi kesamaan hak dan kewajiban.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bahasa dan peranannya merupakan sekelompok sistem (sistem bunyi, sistem tata bahasa, sistem makna) dan variasi dalam penggunaan bahasa seringkali bersifat sistematis pula, namun tentu sesuai dengan konteks yang menyertainya, seperti dijelaskan oleh Soeparno (2002)[3] meliputi variasi kronologis, geografis, sosial, fungsional, gaya/style, kultural, dan individual. Selain itu, bahasa juga dapat memengaruhi pandangan orang yang menggunakan bahasa, dan hal ini berkaitan dengan kekuasaan dan status sosial seseorang dalam masyarakatnya.


[1] Sadiyo. Masyarakat dan Kekuasaan. (Malang : UM, 2001), hlm. 42-43.

[2] Abd. Syukur Ibrahim. Sosiolinguistik; Sajian Model Fungsional Bahasa. (Malang: IKIP Malang, 1994), hlm. 42-43.

[3] Soeparno. Dasar-dasar Linguistik Umum, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002), hlm. 71-78.

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *