Bahasa, Pikiran, dan Representasi

Bahasa seseorang dipengaruhi oleh pikirannya dan bisa juga keadaan itu terbalik yakni pikiran seseorang memengaruhi bahasa yang digunakan. Kedua hal tersebut menghasilkan representasi berbeda. Dalam hal memandang bahasa sebagai representasi sebuah sistem, berikut dijelaskan dua teori yang mendasari hal tersebut.

Pertama, teori De Saussure, mengatakan bahwa konsep adalah persepsi dalam benak tentang sesuatu atau disebut sebagai Langue. Artinya, bahasa seseorang dapat memengaruhi persepsinya terhadap realita. Namun, dalam praktiknya kadang-kadang menyimpang dari pandangan itu. Parole adalah cara kita menggunakan bahasa dalam kenyataannya, termasuk di dalamnya juga kesalahan-kesalahan yang kita buat ketika bingung, dan salah ucap ketika berbicara dengan mulut terisi makanan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tiap-tiap bahasa membagi-bagi realita dengan cara yang berbeda-beda (secara sewenang-wenang). Dari kesewenang-wenangan tersebut, Saussure menyimpan aspek lain yaitu makna dari sebuah tanda tergantung pada makna dari tanda lain yang berarti bahwa ketika ada tanda baru yang ditambahkan atau tanda lama yang dihilangkan, tanda-tanda lain dalam bahasa itu akan berubah/bergeser maknanya.

Kedua, Hipotesis Shapir-Whorf, memandang bahasa menjadi dua bagian yaitu teori relativitas linguisik dan determinisme linguistik. Teori relativitas linguistik menyatakan bahwa tiap-tiap budaya akan menafsirkan dunia dengan cara yang beda-beda dan perbedaan ini akan terkodekan dalam bahasa. Hal ini selaras dengan teori Saussure yang menyatakan bahwa kita membagi-bagi realita secara sewenang-wenang. Selain itu, Hipotesis Shapir-Whorf, memiliki unsur lain yaitu teori determinisme linguistik. Teori ini menyatakan bahwa bukan hanya persepsi kita terhadap dunia yang memengaruhi bahasa kita, tapi bahasa yang kita gunakan itu juga dapat memengaruhi cara kita berpikir. Sehingga kita akan lebih mampu menantang dan mempertanyakan kembali cara penggunaan istilah dan sudut pandang dalam bahasa.

Menurut Simanjuntak (dalam Chaer, 2003)[1], Whorf menjelaskan bahwa sistem tata bahasa suatu bahasa bukan hanya merupakan alat untuk menyuarakan ide, tetapi juga merupakan pembentuk ide tersebut, merupakan program kegiatan mental seseorang, penentu struktur mental seseorang. Dengan kata lain, tata bahasalah yang menentukan jalan pikiran seseorang, struktur bahasa menentukan struktur pikiran. Sumarsono (2013)[2] menyimpulkan bahwa hipotesis Shapir-Whorf berbunyi: Bahasa ibu seorang penutur membentuk kategori-kategori yang bertindak sebagai sejenis jeruji (kisi-kisi). Melalui kisi-kisi itu si penutur melihat “dunia luar” (dunia di luar dirinya). Karena “penglihatan” si penutur terhalang oleh kisi-kisi, pandangannya ke dunia luar seolah-olah diatur oleh kisi-kisi itu. Kisi-kisi tersebut memaksa si penutur menggolong-golongkan dan membentuk konsep tentang berbagai gejala dalam dunia luar itu berdasarkan bahasa ibunya. Namun hipotesis ini banyak menimbulkan kritik dan reaksi hebat dari para ahli filsafat. Carrol (dalam Chaer, 2003)[3] menyatakan bahwa perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam bahasa tidaklah mengakibatkan perbedaan dalam pandangan hidup, pikiran, dan logika, juga tidaklah benar ada satu pandangan hidup yang tidak terpisahkan dari satu bahasa tertentu. Kalaupun ada, itu karena faktor sosial dan sejarah yang tidak ada sangkut pautnya dengan bahasa.


[1] Abdul Chaer. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), hlm. 53.

[2] Sumarsono. Sosiolinguistik. (Yogyakarta: SABDA bekerjasama Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 59.

[3] Abdul Chaer. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), hlm. 61.

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *