Bahasa dan Kelas Sosial

Terjadinya penggunaan bahasa yang berbeda-beda dapat disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya geografis, situasi, fungsional, usia, kelas sosial, dll. Perbedaan pemakaian bahasa yang disebabkan oleh faktor kelas sosial memunculkan terjadinya variasi bahasa. Variasi ini muncul akibat pengaruh gaya bicara akibat latar belakang sosial yang berbeda.

Perbedaan tuturan bisa saja terjadi karena pelafalan tiap daerah yang berbeda. Hal ini disebut sebagai aksen regional. Jika perbedaannya disebabkan oleh tata bahasa dan kosakata yang berbeda disebut dialek. Penyebaran dialek dapat terjadi secara regional dan secara sosial. Dialek sosial memunculkan dialek bergengsi seperti yang terjadi di Inggris dan Amerika. Baik buruknya aksen dan dialek sangat dipengaruhi oleh stereotip terhadap kawasan dan orang yang tinggal di tempat, varian itu digunakan. Aksen dan dialek ini memberikan bukti informasi sosial. Melalui aksen memunculkan perbedaan posisi kelas sosial. Selain itu, Anwar (1984)[1] menambahkan bahwa tidak jauh dari kajian dialektologi mengenai keanekaan dalam ragam bahasa itu buat sosiolinguistik merupakan suatu kenyataan.

Terjadinya posisi kelas sosial yang berbeda memberikan pengaruh terhadap penggunaan bahasa. Gaya bahasa dapat menunjukkan posisi kelas sosial. Jadi, kelas sosial memengaruhi penggunaan bahasa. Contoh ada varian paling bergengsi, yaitu bahasa Inggris standar dan ada varian pengucapan yang paling bergengsi, yaitu Received Pronuncie. Aksen kelas sosial tertinggi tersebar bukan berdasarkan varian regional.

Untuk mendefiniskan kelas sosial agaknya rumit. Tinggi/rendah kelas sosial secara umum dapat mengacu pada asumsi masyarakat. Asumsi tersebut berdasarkan kriteria kekayaan, orang tua, pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, dll. Namun adakalanya tingkatan asumsi ini berbeda antarmanusia karena memiliki prioritas yang berbeda atas beberapa indikator tersebut. Secara sederhana, kelas sosial dapat dilihat melalui kekayaan yang berasal dari gaji pekerjaan.

Beberapa penelitian menyatakan ada hubungan bahasa dan kelas sosial. Labov (1996) menyatakan bahwa kriteria kelas sosial dapat ditentukan melalui tiga bagian, yaitu pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. la meneliti posisi kelas sosial pada supermarket di New York City pada supermarket yang memiliki pangsa pasar kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. la menemukan terjadinya pemakaian bunyi ‘r’ secara postvocalic pada kelas atas dan distigmatis pada kelas bawah. Sementara itu, pada tahun 1960-1970 Peter Trudgill melihat adanya gaya bicara tertentu dari kaca mata faktor sosial. Hal ini pada akhirnya menciptakan penggunaan gaya bahasa yang khas pada kelas sosial. la melihat penggunaan ‘-ing’ secara stagnan pada kelas atas, sedangkan pada kelas bawah ‘-ing’ berubah menjadi -in’.

Dalam hal ini dikenal dua istilah, yaitu aksen dan dialek. Istilah aksen merujuk pada pengucapan. Sementara dialek merujuk pada perbedaan tata bahasa dan kosakata (lexis). Dalam bahasa ucap, sebuah dialek sering dikenali berdasarkan aksennya. Sehingga penutur yang menggunakan dialek regional akan besar sekali kemungkinannya menggunakan aksen regional dari daerah yang sama. Namun pada dasarnya, pendapat ini tidak serta merta demikian. Karena tidak semua dialek dan aksen terbatas pada wilayah tertentu saja, melainkan melalui status sosial seseorang tersebut.

Sumarsono (2013)[2] menjelaskan bahwa ada dua teori dalam pembahasan ini, yaitu teori Beirnstein dan Hipotesis Sapir-Whorf. Yang pertama, mengemukakan dua anggapan dasar yaitu ada dua ragam bahasa penutur, kode terperinci dan kode terbatas. Yang kedua, mengemukakan cara berpikir seseorang  benar-benar ditentukan oleh bahasa.

Namun dalam hal ini, untuk konteks negara Indonesia, seperti kita ketahui bahwa Indonesia melindungi seluruh etnis termasuk bahasa tidak mengenal minoritas dan mayoritas, dengannya variasi bahasa yang muncul akibat kelas sosial tidak terlalu kentara. Sehingga, nampaknya yang dijabarkan oleh Thomas-Wareing tidak berlaku di Indonesia. Di Indonesia variasi linguistik yang membedakan terdapat pada ragam situasinya (formal-tidak formal) dan selalu berkaitan erat dengan kesantunan yang begitu dijaga untuk mempertahankan posisi kekuasaan seseorang di masyarakat, seperti berbicara pada teman tentu berbeda saat berbicara dengan guru, berbicara pada saudara berbeda dengan berbicara dengan orang tua, berbicara dengan orang asing berbeda dengan berbicara dengan sahabat.

Dewasa ini, variasi linguistik tidak lagi menjadi penanda mutlak dalam menentukan kelas seseorang. Di Indonesia, saat ini supir taksi kualitas berbahasa ada yang baik seperti seorang mahasiswa (dilihat dari kesantunan dan wawasan). Seorang anak kuli mampu mengenyam pendidikan tinggi, sehingga bahasa yang dimilikinya pun sangat bagus. Justru, kondisi tersebut terkadang terbalik yakni kebahasaan mahasiswa saat ini diragukan. Tidak semua mahasiswa pandai berkomunikasi dan terlihat keintelektualannya.


[1] Anwar, Khaidir. Fungsi dan Peranan Bahasa; Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 1984), hlm 23.

[2] Sumarsono. 2013. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *