Bahasa dan Gender

Konsep gender dan seks muncul berdasarkan acuan tertentu. Konsep gender termasuk dalam kategori sosial. Kategori sosial ini terbentuk melalui pola-pola perilaku tertentu dalam kehidupan bermasyarakat. Konsep seks termasuk dalam kategori biologis. Kategori ini bahkan sudah terbentuk sebelum seseorang lahir. Bahasa seksis adalah bahasa yang merepresentasikan pria dan wanita secara tidak setara dengan anggota kelompok yang dianggap lebih rendah kemanusiaannya, lebih sederhana, lebih sedikit hak-haknya daripada anggota kelompok yang lain. Bahasa ini melahirkan stereotip-stereotip yang merugikan pria dan wanita.

Bahasa seksis dapat dipandang dari dua sudut, yaitu pertama tentang tingkat sejauh mana sistem tata bahasa itu sendiri menunjang terbentuknya bahasa seksis dan yang kedua tingkat sejauh mana aspek lain di luar tata bahasa digunakan untuk menciptakan bahasa seksis. Keberadaan bahasa seksis ini dapat dilihat dari simetri versus asimetri di dalam kosakata. Konsep selanjutnya yang berguna untuk menganalisis seksisme dalam bahasa adalah konsep istilah bertanda dan tak bertanda. Contoh “lion” (singa) adalah istilah yang bersifat tak bertanda, karena dapat digunakan untuk menyebut singa jantan dan betina. Namun kalau kita ingin menekankan pada singa jantan, istilah yang digunakan tetap “lion” sementara kalau ingin menekankan pada singa betina, istilah yang digunakan diberi tanda “-ess” menjadi “lioness”.

Berbagai konstelasi bahasa di atas dapat dijelaskan dengan teori dominasi yang menyatakan adanya perbedaan wacana antara pria dan wanita karena perbedaan kekuasaan (Fishman:1980 dan DeFransisco:1991). Wanita digambarkan sebagai korban tak berdaya dan pria dipandang sebagai pihak yang merendahkan wanita. Analisis gender melalui teori dominasi dan teori perbedaan pada dasarnya memiliki kelemahan. Hal ini tampak pada perlakuan terhadap wanita secara rata padahal sesama wanita juga memiliki perbedaan, misal usia, etnis, agama, kelas, orientasi seksual, regional, dan budaya. Untuk melihat perbedaan bahasa pria dan wanita dapat dilihat pada cara kita menggunakan bahasa sebagai sarana untuk membangun persepsi kita tentang gender, misal di Inggris ada aturan pakaian dan atribut fisik untuk mengidentifikasikan gender. Bayi laki-laki dilarang diberi pakaian berwarna merah muda.

Bahasa seksis terhadap wanita dapat juga dilihat dari derogasi semantik, yaitu proses dimana kata-kata yang merujuk pada wanita mendapatkan makna yang negatif atau mendapatkan konotasi seksual dan fenomena ini sudah banyak sekali dibahas. Artinya, membuat sesuatu tampak lebih mudah dari segi maknanya. Contoh seperti kata ‘master – mistress’, yang berarti majikan dan kekasih gelap atau dalam pemeo untuk menyebut tiga kesenangan dalam hidup, yaitu wine, women, and song. Seksisme juga terjadi pada pria, seperti pada contoh istilah tob boy (pria panggilan, gigolo), mantress (dari kata “mistress” yang berarti “kekasih gelap” dan “matress” yang berarti “ranjang” dan “man” yang berarti pria). Hal ini menunjukkan bahwa seksisme bisa juga terjadi pada pria, namun pada realita kehidupan seksisme lebih dominan terjadi pada wanita.

Penelitian ragam bahasa pria dan wanita di Indonesia belum banyak dilakukan. Salah satu diantara yang sedikit adalah penelitian Multamia Lauder dan Basuki Sahardi (1988)[1] tentang sikap kebahasaan kaum wanita di sebagian kota Jakarta. Ubahan (variabel) yang diteliti adalah usia, pekerjaan, pendidikan, lama tinggal di Jakarta, status, dan ini dikaitkan dengan sikap-sikap bahasa mereka, lalu dilihat perbedaan sikap itu pada pria dan wanita.

Perbedaan pola bahasa antara pria dan wanita terjadi karena beberapa teori-teori dominasi dan teori perbedaan. Multamia juga menyebutkan bahwa secara umum dikatakan sikap kebahasan wanita cenderung mendua. Artinya, ada semacam kontroversi atau pertentangan sikap. Di satu pihak, berdasarkan analisis dari segi usia, pekerjaan, maupun pendidikan, kaum wanita itu tidak begitu menganggap penting penguasaan bahasa-ibu. Namun, di pihak lain, wanita ternyata lebih banyak menjadi anggota perkumpulan sosial yang berbahasa-ibu; lebih banyak wanita yang menginginkan agar anak-anaknya lebih banyak berbahasa-ibu daripada berbahasa Indonesia, dibandingkan dengan pria. Dalam kedua hal ini ternyata wanita lebih konservatif daripada pria. Hal ini sejalan dengan dugaan Elyan[2] dkk. wanita itu bersifat “androgini” (mendua). Menurut Elyan, wanita-wanita di kota-kota besar cenderung mendua; mereka ingin maju dan kuat (perkasa) seperti pria, namun tidak mau kehilangan kefemininannya. Sumarsono[3] menyebutkan beberapa teori yang menyebabkan terjadinya seksisme terhadap wanita, yaitu teori tabu, teori sistem kekerabatan dalam masyarakat dan jenis kelamin yang disapa. Dalam hal ini perbedaan bahasa bukan berarti dua bahasa yang sama sekali berbeda dan terpisah, tetapi bahasa mereka tetap satu, hanya saja dalam pemakaian bahasa lelaki dan perempuan mempunyai ciri-ciri yang berbeda. Wanita lebih mempertahankan bahasa mereka (konservatif) sedangkan pria bersifat inovatif dan pembaharuan.


[1] Lauder, Multamia R.M.T. dan Basuki Sahardi. 1988. Sikap Kebahasaan Kaum Wanita. Jakarta: Makalah Seminar Sosiolinguistik II.

[2] Elyan, Olwen et al. 1988. RP accented female speech: The Voice of Perceived Androgyny, dalam language, Gender, and Society. Rowley Newbury House.

[3] Sumarsono. Sosiolinguistik, (Yogyakarta: SABDA) hal. 108.

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *