Sikap terhadap Bahasa

Penggunaan bahasa oleh penutur menimbulkan sikap yang berbeda-beda. Sikap ini muncul karena adanya anggapan bahwa varian bahasa tertentu dianggap elegan, prestise, ekspresif, hingga vulgar. Sikap terhadap bahasa tentu akan dirasakan oleh penutur dwibahasawan/ multibahasa. Penutur ini dapat membandingkan identitas tiap bahasa yang dituturkan. Sikap ini dapat berwujud perasaan yang menyenangkan secara estetik, dan penggunaan dari bahasa lainnya. Sikap ini tentu berdasar pada identitas yang melekat pada bahasa, meliputi identitas sosial dan identitas budaya.

Dalam konteks pemakaian bahasa Inggris, penggunaan tuturan selain bahasa Inggris dianggap sebagai ancaman dan menunjukkan rasa kurang hormat. Sikap bahasa dapat juga menunjukkan persoalan nasionalisme. Multilingualisme dipandang sebagai sesuatu yang subversif, merusak citra marayarakat yang homogen. Kemunculan gerakan menjunjung bahasa Inggris dapat menimbulkan marginalisasi terhadap varian-varian bahasa lain. Dengan kata lain, homogentias/ keseragaman dan kesatuan nasional harus diwujudkan dengan cara menghapuskan perbedaan-perbedaan bahasa.

Ibrahim (1994)[1] menegaskan bahwa terdapat kepercayaan luas baik di AS maupun di Inggris bahwa berbicara bahasa Inggris non-standar merupakan faktor penyebab dalam rendahnya status ekonomi sebagian besar segmen penduduk kelompok minoritas, dan bahwa belajar bahasa Inggris yang”baik” secara otomatis akan meningkatkan batasan dan kecurigaan kelas.

Ibrahim (1999)[2] dalam kesempatan lain menegaskan bahwa hal di atas dikarenakan bahasa menurut pandangan sosiolinguistik yakni tidak tunggal tetapi memiliki varian-varian sesuai dengan keberadaan masyarakat yang memiliki sistem sosial, stratifikasi sosial, diferensiasi sosial, mobilitas sosial, dan pranata sosial yang berbeda-beda. Sehingga dari beberapa hal tersebut, terjadilah berbagai variasi bahasa. Dengan kata lain, Chaer (2004)[3] menyimpulkan bahwa variasi bahasa adalah keragaman bahasa yang disebabkan oleh adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat atau kelompok yang sangat beragam dan dikarenakan oleh para penuturnya yang tidak homogen.

Bukti lain adanya sikap bahasa ini dapat ditunjukkan melalui kata dan interaksinya. Masalah yang sering dikomentari dan diperdebatkan adalah kata dan makna, cara penggunannya, dan siapa yang menggunakannya. Sikap masyarakat terhadap sebuah kata yang dipandang negatif dapat menjadikan kata tersebut akan musnah karena tidak dipakai lagi oleh masyarakat. Penggunaan frase, sebagai gabungan beberapa kata, juga mengalami hal yang sama. Ada kelompok tertentu yang lebih suka menggunakan ciri linguistik tertentu karena stigma yang diterapkan pada kelompok sosial masyarakat tertentu. Sikap terhadap perilaku linguistik ini tentu berbeda antarbudaya. Perbedaan ini dapat menimbulkan salah paham.

Sikap-sikap di atas memiliki hubungan dengan kekuasaan untuk menetapkan makna dari kata dan kekuatan yang dianggap ada di dalam kata-kata itu sendiri. Sikap terhadap bahasa bisa dipengaruhi perilaku linguistik tertentu dengan kelompok sosial tertentu, yakni kelompok yang lebih kecil kekuasaannya akan lebih banyak mendapatkan penilaian negatif atau stigma.

Bukti adanya sikap terhadap bahasa dapat juga ditunjukkan melalui pengucapan dan aksen. Cara mengatakan sesuatu sama besar pengaruhnya dengan apa yang dikatakan. Di Amerika Serikat seorang wanita dengan aksen selatan selalu dihubungkan dengan tingkat kecerdasan yang rendah. Di Inggris aksen perkotaan justru dianggap rendah oleh masyarakat. Penduduk kota dianggap memiliki kecerdasan dan kompetensi yang rendah. Bunyi `r’ pada aksen New York dianggap sebagai ciri linguistik yang prestise. Di Inggris, hal ini justru berlaku sebaliknya. Bunyi ‘r’ dianggap sebagai ciri linguistik yang rendahahan.

Dapat disimpulkan bahwa adanya sikap terhadap bahasa ini memberikan dampak. Sikap terhadap bahasa dan varian bahasa sangat terkait dengan identitas sosial dan identitas budaya. Chaer (2004)[4] dan Ibrahim (1999)[5] menyebutkan bahwa penilaian sosial terhadap bahasa berhubungan dengan sikap bahasa, meliputi tiga komponen, yaitu kognitif, afektif, dan konatif. Selain itu, sikap ini juga terkait dengan kekuasaan, kendali, prestise, solidaritas, dan dipengaruhi oleh streotip tertentu pada sebuah kelompok masyarakat, misalnya aksen Skotlandia dianggap sebagai varian bahasa yang memiliki daya tarik seksual tinggi, aksen Meksiko dianggap sebagai varian yang membuat dagangan tidak laku pada pangsa pasar masyarakat AS, aksen Spanyol dianggap berbau kriminal di AS, aksen regional di AS dianggap memberikan kesan kejujuran, variasi bahasa Hawaian Creole English dinilai negatif dan rendahan, dan etnis Asia (India) dianggap lebih rendah dari etnis Kaukasia (kulit putih). Sumarsono (2010)[6] menyebutkan hal ini juga berdampak pada adanya pemilihan bahasa.


[1] Ibrahim, Abd. Syukur. Sosiolinguistik; Sajian Model Fungsional Bahasa, (Depdikbud: UM Malang, 1994), hal. 83.

[2] Ibrahim, Abd. Syukur. Hakikat Sosiolinguistik, (Depdikbud, UM Malang, 1999), hal. 9.

[3] Chaer, Abdul, dkk. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), hal. 62.

[4] Chaer, Abdul, dkk. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), hal. 150-151.

[5] Ibrahim, Abd. Syukur. Hakikat Sosiolinguistik, (Depdikbud, UM Malang, 1999), hal. 29-35.

[6] Sumarsono. Sosiolinguistik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal 190-195.

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *