Bahasa dan Etnisitas

Definisi etnis dan etnisitas sangat beragam. Secara etimologi, etnis berasal dari ethos (Bahasa Yunani) yang artinya bangsa dan sebuah bangsa didefinisikan berdasarkan kesamaan sejarah, kesamaan tradisi, dan kesamaan  bahasa. Karena tiap orang punya sejarah, budaya, dan bahasa yang terkait dengan kelompok sosial tertentu maka dapat dikatakan bahwa tiap orang punya identitas etnis. Identitas ini sering kali digunakan untuk memberikan label pada diri seorang manusia. Pemberian label ini dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama, dapat dilakukan melalui cara yang menyolok dengan menggunakan istilah-istilah narsis. Kedua, dapat dilakukan melalui cara tanpa perlu menyebutkan istilah rasis sekalipun, yaitu sekedar menyebutkan atau menonjolkan label etnis yang menjurus makna negatif. Demikian juga, ketika identitas etnis dari seseorang terus menerus ditandai, secara otomatis akan memfokuskan pada cirri yang ditandai itu.

Pembahasan kelompok etnis selalu terdikotomikan menjadi etnis mayoritas dan etnis minoritas. Etnis mayoritas terdiri dari sebagian besar populasi sebuah negara dan merujuk pada kelompok-kelompok etnis yang memegang kekuasaan sosial dan politik. Etnis minoritas sebaliknya. Segala sesuatu yang berbeda dengan etnis mayoritas dianggap sebagai pinggiran. Etnis minoritas seringkali menolak menggunakan bahasa etnis mayoritas. Oleh karena itu, identitas etnis mayoritas seringkali tak tampak karena dominasinya. Sebaliknya, identitas etnis minoritas seringkali tampak karena ketidakdominasiannya. Akhirnya, muncul istilah bertanda untuk menciptakan pembeda antara “kami/kita” dengan “mereka”.

Pelekatan label negatif pada etnis minoritas terbuka lebar karena ketidakdominasiannya dibanding etnis mayoritas. Karenanya, akan sangat mudah menciptakan atau memberi penekanan aspek negatif kepada etnis minoritas melalui label-label. Pemberian label ini dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama, dapat dilakukan melalui cara yang menyolok dengan menggunakan istilah-istilah narsis. Kedua, dapat dilakukan melalui cara tanpa perlu menyebutkan istilah rasis sekalipun, yaitu sekedar menyebutkan atau menonjolkan label etnis yang menjurus makna negatif. Demikian juga, ketika identitas etnis dari seseorang terus menerus ditandai, secara otomatis akan memfokuskan pada ciri yang ditandai itu.

Penanda identitas etnis salah satunya adalah bahasa. Pada tahun 1990 dilaporkan kira-kira terdapat 30 juta orang Afro-Amerika di AS. Kira-kira 80-90% populasi ini menggunakan bahasa yang disebut Ebonics (dari kata “ebony” berarti hitam dan “phonics” berarti suara. Bahasa Ebonics merupakan bahasa yang sistematis sebagaimana layaknya bahasa-bahasa lain tapi masih ada banyak kalangan Afro-Amerika sendiri menganggap bahawa bahasa Ebonics bukan bahasa yang normal/wajar. Salah satu penyebabnya, terjadi kesulitan menerima bahasa Ebonics sebagai varian bahasa Inggris. Bahasa Ebonics memiliki perbedaan dengan bahasa Inggris standar di Amerika dan sebagian besar masyarakat memandang bahasa Ebonics sebagai bahasa Inggris yang rusak dan dituturkan oleh orang bodoh, tidak berpendidikan. Namun penggunaan bahasa ini tidak mendapat dukungan dan akhirnya dibatalkan. Artinya jika bahasa Ebonic diakui, sama saja mengakui adanya budaya Afro-Amerika yang berbeda dari budaya Amerika Serikat. Budaya Afro-Amerika tetap berfungsi normal dan tidak mau menjadi kulit putih.

Kategori yang sering digunakan untuk merujuk kelompok budaya adalah etnisitas dan bahasa. Sebuah kelompok etnik diposisikan sebagai satu kelompok budaya. Demikian juga masyarakat yang menggunakan bahasa khasnya sendiri diperlakukan sebagai satu kelompok budaya khusus. Hal ini berdasar pada pendapat Jacques Lacan yang menyatakan bahwa manusia terkungkung pada bahasa yang digunakannya. Bahasa adalah penentu budaya manusia. Dunia dipahami manusia dari kelompok budaya berbeda secara berbeda karena bahasa yang digunakanuntuk memahaminya juga berbeda.

Ada ungkapan, “bahasa menunjukkan bangsa”. Sumarsono (2013)[1] mengatakan bahwa pepatah ini berarti tutur kata (bahasa) seseorang akan menunjukkan bagaimana sifat dan watak orang tersebut, dari kalangan mana dia berasal. Kadang kita dapat menerka tempat, asal, atau pekerjaan seseorang hanya dengan mendengarkan ia berbicara. Tapi, seperti yang sudah dijelaskan di atas, saat ini etnis tertentu bias saja menguasai dua bahasa atau lebih, misalnya banyak sekali orang Negro yang sudah beberapa generasi berada di Amerika sudah kehilangan bahasa ibunya. Jadi dapat disimpulkan bahwa dasar perbedaan bukan karena warna kulit, melainkan lingkungan bahasa.

Kasus mengenai perbedaan lafal dalam bahasa Inggris (misalnya etnis Negro di Amerika) Chaer (2004)[2] berpendapat hal tersebut disebabkan oleh ragam substratum yaitu bahasa atau ragam bahasa yang dipakai oleh kelompok-kelompok itu atau nenek moyang mereka (yaitu strata atau lapis generasi sebelum lapis sekarang) sebelum mereka itu menjadi penutur bahasa Inggris di kota New York. Perbedaan lafal bahasa Inggris orang Negro dengan lafal orang kulit putih di Amerika telah membawa kerugian bagi masyarakat Negro karena adanya pandangan yang bersifat inferioritas (rendah). Pandangan ini menganggap ada hubungan antara “bahasa yang jelek” dengan rendahnya derajat pemakai dalam masyarakat. Padahal perbedaan itu semata-mata karena ragam bahasa etnis yang berbeda-beda, tetapi secara linguistik sama baiknya.


[1] Sumarsono. Sosiolinguistik, (Yogyakarta: SABDA, 2013), hlm 67.

[2] Chaer, Abdul. Sosiolinguistik; Perkenalan Awal. (Jakarta: Rineka Cipta., 2004), hlm 124.

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *