Patologi Bahasa dan Pragmatik

Patologi bahasa merupakan penyelidikan mengenai cacat dan gangguan yang menghambat kemampuan berkomunikasi verbal seseorang. Secara tidak langsung, dapat dikatakan bahwa apabila pragmatik tidak berfungsi dengan benar maka dapat menyebabkan gangguan bahasa. Gangguan-gangguan ini merupakan kendala besar karena dapat menghalangi komunikasi yang efektif. Kendala ini berupa proses-proses pragmatik yang mengalami gangguan atau pengetahuan pragmatik tidak diperoleh secara normal. Secara umum gangguan ini terjadi pada kondisi-kondisi medis, misalnya afasia pada orang dewasa yang mengalami stroke atau seperti gangguan semantik pragmatik pada anak-anak. Pada gangguan-gangguan tertentu pragmatik terpengaruh di sepanjang tingkatan-tingkatan struktural bahasa (fonologi, sintaksis, dan semantik).

Kerangka teori relevansi dalam pragmatik kognitif Sperber dan Wilson diadopsi untuk penelitian kerusakan belahan otak kanan pada orang dewasa. Ada dua hal penting literatur linguistik klinis tentang gangguan pragmatik (Cummings, 1999)[1], yaitu (1) literatur linguistik klinis benar-benar bersifat komprehensif, tiap konsep dan proses pragmatik pada tingkat tertentu tidak terlepas dari kajian-kajian linguistik klinis, dan (2) gambaran klinis yang muncul lebih rumit. Persoalan pragmatik dapat bersifat khusus karena satu proses atau fungsi pragmatik tertentu dapat mengesampingkan fungsi-fungsi yang lain.

Fenomena-fenomena pragmatik seperti tindak tutur, konteks, pengetahuan pendengar, maksim-maksim dan implikatur percakapan, inferensi, pengetahuan, makna nonharfiah, deiksis, dan analisis percakapan dan wacana mengalami dinamika dalam kajian linguistik klinis.

  1. Tindak tutur; merupakan fenomena pragmatik yang menonjol. Penggunaan dan pemahaman linguistik pragmatik diselidiki dalam kondisi-kondisi klinis dengan cara sama beragamnya seperti autisme, ketidakmampuan belajar, penyakit alzheimer, cedera kepala tertutup, dan kerusakan belahan otak kiri. Produksi tindak tutur merupakan indikator terjadi gangguan fungsi pragmatik.
  2. Konteks; indikator yang lain dapat berupa konteks, terkait penggunaan konteks oleh penderita gangguan bahasa.
  3. Pengetahuan; pengetahuan pendengar terkait banyaknya  gangguan pragmatik dan bahasa yang membawa pengaruh pada pendengaran.
  4. Maksim dan implikatur percakapan; terakit dengan kemampuan subjek yang memenuhi kebutuhan dan juga bergantung maksim cara.
  5. Inferensi; inferensi yang sama beragamnya dengan fenomena pragmatik lain karena berbasis bahasa dan pengetahuan dunia.
  6. Pengetahuan; terjadinya gangguan bahasa terkait defisit pengetahuan.
  7. Makna nonharfiah; makna ini dapat digunakan sebagai tes menginterpretasikan idiom untuk kerusakan otak kiri/kanan.
  8. Deiksis; termasuk konsep pragmatik, deiksis masuk dalam tes formal komunikasi fungsional.
  9. Analisis percakapan dan wacana; untuk melihat kemampuan percakapan pada penderita afasia.

 

Telah dikemukakan di atas bahwa kendala gangguan bahasa dapat berupa proses-proses pragmatik yang mengalami gangguan atau pengetahuan pragmatik tidak diperoleh secara normal. Gangguan pragmatik dapat berupa gangguan perkembangan bahasa, autisme, ketidakmampuan belajar, kerusakan otak belahan kiri, kerusakan otak belahan kanan, cedera kepala tertutup, penyakit alzheimer, dan schizofrenia. Gangguan-gangguan ini sangat beragam dan tidak dapat dikatakan dengan satu penyebab.

  1. Gangguan perkembangan bahasa dapat terjadi terjadi pada anak, misalnya gangguan semantik pragmatik. Rapin dan Allen (dalam Cummings, 2009)[2] menegaskan bahwa subkelompok anak yang terhambat bahasanya yang memperlihatkan defisit yang besar di bidang pragmatik diberi label sebagai anak yang memiliki sindrom semantik-pragmatik.
  2. Autisme; merupakan gangguan paling heboh dalam linguistik klinis, gangguan ini terkait dengan perkembangan bahasa yang terlambat dan menyimpang.
  3. Ketidakmampuan belajar; dalam hal ini dapat digolongkan kategori kelompok keterlambatan mental, mengalami kesulitan belajar, dan alami sindrom down.
  4. Kerusakan otak belahan kiri; disebut afasia/disafasia, penyebabnya antara lain stroke, tumor otak, infeksi, luka otak traumatik, dimentia (alzheimer). Dardjowidjojo (2010)[3] menegaskan bahwa kerusakan pada otak belahan kiri mengakibatkan munculnya gangguan wicara. Selain itu, Cummings (2009)[4] mengemukakan bahwa klasifikasi afasia mengkategorisasikan ke dalam dua bentuk, yaitu tipe fasih dan tipe tidak fasih. Dalam afasia fasih, pemahaman bahasa sering kali mengalami pelemahan yang parah dengan adanya tuturan yang fasih tanpa mengerahkan usaha. Selain itu juga sering melakukan ekolalia. Sementara dalam afasia tidak fasih, penderita harus berusaha keras untuk menghasilkan ujaran. Biasanya struktur kalimat menjadi berkurang dan tidak lengkap.
  5. Kerusakan otak belahan kanan; merupakan gangguan bahasa pada otak kiri dan menyebabkan defisit pengetahuan di otak kanan, memengaruhi perhatian, memori, organisasi, penalaran, dll.
  6. Cedera kepala tertutup; merupakan tipe luka otak traumatik, dapat terjadi karena benturan, dapat menyebabkan defisit komunikasi.
  7. Penyakit alzheimer; penyebab penyakit ini belum bisa ditetapkan, namun ada kecenderungan penyebab faktor genetik. Akibat pragmatik; kurangnya koherensi, respon kabur, tidak relevan, dll.
  8. Schizofrenia; mengalami kerusakan bahasa, gangguan pada otak sebelah kiri, kerusakan sifat morfemik sintaktis.

 

Berbicara tentang perbedaan pragmatik, dapat digarisbawahi bahwa kerusakan otak dapat menyebabkan gangguan bahasa. Namun sayangnya, kalangan ahli pragmatik masih merasa enggan mengkaji linguistik klinis ini (Cumming, 1999)[5]. Cummings mengemukakan bahwa ada hubungan bahasa dan kognisi dan juga adanya hubungan bahasa struktural dan pragmatik.

Penanganan gangguan bahasa salah satunya dapat ditinjau dengan Pure Dysphatic Development (Van Tiel, tanpa tahun)[6]. PDD sebenarnya bukanlah suatu diagnosa, tetapi terminologi yang digunakan bagi sekumpulan gejala atau sindrom dari bentuk speech and language disorder yang nampak secara klinis beberapa saat dalam suatu perkembangan seorang anak sehingga perkembangan itu terlihat tidak normal. Maksudnya bahwa gejala-gejala yang ditampilkan itu tidak akan terdapat pada seorang anak yang normal. Dikatakan bukan diagnosa, karena gangguan perkembangan berbahasa dan bicara adalah suatu gejala bawaan dari suatu kondisi lain yang menjadi diagnosanya.

Pure Dysphatic Development juga berbeda dengan term dysphasia. Dysphasia sendiri diambil dari istilah aphasia. Aphasia adalah keadaan di mana seseorang mengalami gangguan kehilangan kemampuan bicara yang disebabkan karena traumatic brain injury atau cerebralpalsy akibat kecelakaan, tumor, dan pendarahan otak. Dysphasia adalah bentuk ringan dari aphasia. Namun aphasia/dysphasia adalah kondisi yang patologis yang disebabkan karena adanya brain injury, sedang dalam dysphatic development tidak ditemui adanya kondisi yang patologis pada otak yang disebabkan karena brain injury. Kondisi dysphatic disebabkan perkembangan neurologis yang tidak seperti biasanya, lebih kearah karena genetik, karena itu digunakan istilah pure dysphatic development (Nyiokiktjien: 1989 dalam Van Tiel, tanpa tahun)[7].

Berikut slide terkait Patologi Bahasa dan Pragmatik.

[1] Cummings, Louise. 1999. Pragmatics, A Mutidicplinary Perspective. New York: Oxford University Press. Terjemahan. Ibrahim, Abdul Syukur (editor). 2007. Pragmatik: Sebuah Prespektif Multidispliner. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 362.

[2] Cummings, Louise. 2009. Clinical Pragmatics. Cambridge University Press. Terjemahan. Ibrahim, Abdul Syukur (editor). 2010. Pragmatik Klinis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 84.

[3] Dardjowidjojo, Soenjono. 2010. Psikolinguistik; Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hlm. 214.

[4] Cummings, Louise. 2009. Clinical Pragmatics. Cambridge University Press. Terjemahan. Ibrahim, Abdul Syukur (editor). 2010. Pragmatik Klinis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 180-182.

[5] Cummings, Louise. 1999. Pragmatics, A Mutidiciplinary Perspective. New York: Oxford University Press. Terjemahan. Ibrahim, Abdul Syukur (editor). 2007. Pragmatik: Sebuah Prespektif Multidispliner. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 437.

[6] Van Tiel, Julia Maria. Tanpa tahun. Gangguan Perkembangan Bahasa dan Bicara dan Menanganinya pada Pure Dysphatic Development, (ditulis untuk milis anakberbakat@yahoogroups.com), diakses 13 Maret 2014.

[7] Ibid.

Leave a Reply

4 komentar pada “Patologi Bahasa dan Pragmatik

  1. Novy Setiyarso

    menyimak. cukup panjang. saya kurang bisa menangkap penjelasan tanpa grafis.

    secara teknis, untuk file presentasi lebih baik di taruh di slideshare.com/net . dan model linknya disetting new tab

  2. johno seventyfive

    Penyakitnya ngeri….hmm gimana ya cara mengidentifikasi jika anak tersebut sudah mengalami gejala-gejala cacat ini? dan adakah suatu cara/tindakan untuk mencegah, atau jika tidak dapat dicegah semisal karena keturunan gen, dapatkah mengurangi tingkat ke fatalan cacat itu sendiri pada anak?

  3. Lia Penulis

    @Novy : Tidak hanya panjang, tapi juga rumit 🙂

    Silakan simak di slide yang bisa diunduh di akhir tulisan ini.

    Yupz, makasih sarannya 🙂

  4. Lia Penulis

    @JOhno : Lebih tepat cek ke dokter spesialis.
    Kalau masalah di atas dikarenakan gen, tidak bisa secara total dihilangkan. Namun pengaruh gen hanya sekian persen. Ada yang berpendapat 1:1000 dari gen yang memiliki masalah-masalah di atas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *