Serpihan Mutiara Hati (3)

Tujuh tahun yang lalu

Sinta sangat bahagia. Laki-laki yang dijodohkan orang tua kepadanya adalah Rama. Rama teman SMAnya dulu. Keluarga Rama pun bangga dapat menikahkan putra semata wayangnya dengan Sinta dan segala kesempurnaannya. Dua keluarga itu memang cocok, sepadan, sama-sama keluarga bangsawan. Bagi Sinta dan Rama, gayung bersambut.

Pesta pernikahan pun dilaksanakan dengan meriah. Semua warga kampung Talung diundang. Mereka tidak memandang miskin dan kaya. Mereka berharap seluruh warga dapat merasakan kebahagiaan yang sekarang mereka miliki.

Semua warga pun datang. Namun sudah menjadi sunah dunia, ada baik ada pula buruk. Ada benar ada pula salah. Rupanya ada seseorang yang tidak menginginkan kebahagiaan keluarga Sinta dan Rama. John, teman sekelas mereka dulu saat SMA. Cintanya yang bertepuk sebelah tangan terhadap Sinta.

Halilintar menyambar tak ada ampun. Semua tamu undangan yang hadir berhamburan. Seluruh kaca yang ada di rumah Sinta pecah berserakan. Pesta penuh kebahagiaan kini seperti sihir menjadi pesta darah.

Hening.

Seseorang menggeliat dari tumpukan pecahan kaca. Ia menekan tombol darurat dan kembali tak sadarkan diri.

Ambulance berdatangan. Semua orang yang bisa diselamatkan dilarikan ke rumah sakit terdekat. Semua anggota keluarga Sinta dan Rama tak dapat diselamatkan kecuali mereka berdua dengan luka-luka yang cukup parah.

Kondisi belum begitu pulih, namun Sinta dan Rama tetap memutuskan untuk keluar dari rumah sakit.

 

***

Sengatan terik matahari sangat terasa. Hilir mudik orang-orang dengan kesibukan mereka masing-masing. Bau asap yang sempat membuat mereka terbatuk-batuk. Hiruk pikuk itu tak mereka hiraukan. Senja mulai tampak namun mereka belum juga menemukan tempat untuk berteduh. Sampai akhirnya mereka sampai ke sebuah perkampungan. Talung.

Seorang nenek tua berbaik hati mengajak mereka untuk tinggal bersama. Kini mereka bertiga. Walau gubuk itu terlihat sangat sederhana, mereka sangat bersyukur karena akhirnya dapat menemukan tempat untuk berteduh.

Satu tahun sudah mereka tinggal bersama nenek tua. Kehadiran putri dari Sinta dan Rama meramaikan gubuk mereka. Arini.

Keganjilan muncul saat Arini berusia enam bulan. Ia kerap merangkak menggali tanah mencari serpihan kaca untuk dimakan. Tak jarang nenek memergoki Arini sedang mengunyahnya. Sinta dan Rama pun demikian.

Mereka semua khawatir terjadi sesuatu dengan Arini, namun setelah beberapa minggu ternyata kekhawatiran mereka tidak terbukti, keadaan Arini normal seperti biasa.

 

***

Hari ini tidak seperti biasa yang dirasakan keluarga Rama. Langit pun tak menampakkan cahayanya. Mendung. Gelap. Sepi.

Dari kejauhan nenek melihat seseorang mendekati gubuk. Seorang lelaki. Tegap dan gagah. Sejenak nenek tua itu heran tak pernah ada seorang pun tamu yang berkunjung ke gubuknya karena memang Sinta dan Rama tidak lagi mempunyai saudara. Namun lelaki itu mengatakan ia teman sekolah saat SMA dulu.

Keheranan nenek tua tak cukup karena gerak langkah lelaki itu sangat aneh dan ganjil. Arini pun cepat-cepat di gendong nenek, tapi lelaki berkulit hitam itu memaksa. Arini tak dapat diselamatkan. Namun di pintu keluar sudah ada Rama dan Sinta. Mereka dapat merebut Arini.

Tragedi tak diduga, Sinta dan Rama di bunuh lelaki dingin tadi. Arini pun kembali ke tangannya. Nenek tua tiba-tiba menghilang dibawa kegelapan langit yang memandang.

Arini menangis. Entah ia merasakan bersama orang yang salah atau telah kehilangan kedua orang tuanya.

***

Nenek tua mencoba terus mencari keberadaan Arini. Lima tahun sudah Arini kehilangan kedua orang tuanya.

Bulan purnama Jumat Kliwon kali ini bertepatan dengan genapnya usia Arini enam tahun. Nenek tua kembali mendatangi gubuknya dulu bersama Rama dan Sinta.

Ia heran karena tempatnya dulu masih sama tak kurang suatu apa pun, namun keheranannya bertambah setelah melihat di depan gubuk itu berdiri satu gubuk lagi yang menyeramkan.

Nenek tua itu menangis menyesali kedatangannya terlambat. Cucunya, Arini, terpasung di dalam krangkeng, gubuk kotor dan bau.

John meninggalkan Arini dengan makhluk jadi-jadian menyeramkan yang selama ini membantu John merusak kehidupan Sinta dan Rama.

 

***

Terlihat Arini mulai suka dengan nasi dan obat yang diberikan dokternya. Neneknya pun begitu ceria mendampingi cucu angkat satu-satunya itu.

Penelitianku hampir selesai walau masih ada beberapa titik yang tidak bisa dijangkau.

Ya Rabb… terima kasih atas pertolongan-Mu kepadaku terhadap Arini dan neneknya… Kasih-Mu seluas samudera …

TAMAT

Leave a Reply

4 komentar pada “Serpihan Mutiara Hati (3)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *