Negeri 5 Menara ke Ranah 3 Warna

Sekitar enam bulan yang lalu, teman saya menenteng sebuah novel. Dengan bangga dia memberikan statement, wah, bagus sekali novel ini membuat saya melirik novel yang dibawanya. Penasaran saya terjawab. Judulnya Negeri 5 Menara. Saya belum bertanya mengenai sekilas ceritanya, atau tokohnya siapa. Tetapi dengan melihat covernya, saya merasa tidak tertarik. Mungkin karena setumpuk tugas sedang mendera saya saat itu.

Kamis, 08 Desember 2011 pkl 05.00 WIB, saya membuka situs kompas.com. Ada berita mengenai pembuatan film Negeri 5 Menara tersebut yang dikabarkan hendak tayang awal tahun 2012 nanti. Sempat juga dengar kabar-kabar tak menentu dari beberapa teman dengan film tersebut. Membaca berita pagi itu, membuat rasa penasaran saya bertambah.

Beruntung novel teman saya sedang tidak dibaca. Segera saya sambar novel yang bertengger di atas lemarinya. Sebaris demi sebaris saya hanyut dalam bacaan itu. Tidak terasa satu bab sudah saya lewati. Walaupun sebenarnya kondisi saya saat itu sedang tidak enak badan.

Ternyata memang bagus, gumam saya dalam hati. Satu bab, dua bab, sampai akhirnya saya berada di baris terakhir novel tersebut. Haru, bangga, sedih, senang telah berbaur dan yang pasti membuat semangat saya kembali melejit. Tidak lebih dari 24 jam saya menyelesaikan bacaan tersebut.

Membaca Negeri 5 Menara, serasa menguliti saya dan mengulang kembali pada lorong waktu ketika saya hendak ke pondok pesantren tahun 2003 silam. Rasanya kata-kata yang ada di alam pikiran saya saling bertarung untuk mendapatkan giliran lebih dulu tercetak menjadi sebuah tulisan. Tetapi yang pasti tidak bisa disajikan di sini untuk cerita tersebut.

Satu yang saya ingat dan saya syukuri sesuai dengan mottonya Alif, “Man jadda wajadda wa shabara zhafira” kala satu surat melayang menghampiri tangan ini. Belum genap 3 bulan saya berada di Pondok Pesantren Al Hikmah 2 Benda, Sirampog Brebes yang megah itu, surat dari orang tua telah memilukan hati.

“Nok, jangan kaget ya bila nanti hendak liburan Syawal Abahmu ke pondok menjemput untuk boyong.” Tidak kuasa saya meneruskan membaca surat itu, bendungan yang telah menyesakkan dada itu pun pecah. Saya tahu akan situasi dan kondisi di rumah, tapi mengapa mereka menyerah.

Sejak itu, saya azzamkan bahwa saya datang ke pondok untuk belajar dan tidak akan merepotkan orang tua. Saya harus prihatin, saya harus menabung, saya harus kembali berprestasi, saya harus bisa memenuhi semua keperluan saya sendiri, membayar keuangan sekolah sendiri.

Tidak ada kata meminjam, terlebih meminta, apalagi dikasihani. Tidak! tentu kecuali hanya kepadaNya. AlhamdulilLah, kata itu tidak pernah hilang hingga saat ini dan bisa meneruskan hingga ke perguruan tinggi. Perjalanan yang tidak mudah bagi saya.

Usai sudah novel Negeri 5 Menara saya baca, Ranah 3 Warna-buku kedua dari trilogi Negeri 5 Menara-pun menanti dan hamdanlilLah tinggal beberapa halaman lagi selesai saya baca. 🙂

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *